Kurban, Pendidikan, dan Misi Peradaban

 人参与 | 时间:2025-06-06 20:44:31
Warta Ekonomi,官方正版quickq加速器 Jakarta -

Pada hari Jum’at, 6 Juni 2025, umat Islam di seluruh penjuru tanah air menunaikan ibadah Idul Adha, sebuah momen religius yang sarat makna spiritual. Pada hari itu, setiap muslim yang mampu dianjurkan untuk menyembelih kurban pada hari nahar, tepat pada tanggal 10 atau hari tasyrik yang berkisar tanggal 11,12 dan 13 Dzulhijjah. Seiring gema takbir dilanjutkan dari masjid-masjid, umat Islam juga menyulam doa dan pengharapan. Takbir tersebut bukan hanya sekadar simbol perayaan belaka, melainkan juga ungkapan pengangungan atas kebesaran nama Allah SWT.

Dalam khazanah bahas Arab, istilah kurban berasal dari bakar kata qarraba–yaqrabu–qurbanan, yang bermakna mendekat atau menghampiri. Dalam konteks keagamaan, kurban dimaknai sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui ketaatan dan keikhlasan. Kurban juga dikenal dengan istilah al-udhiyah, yang merujuk pada hewan ternak yang disembelih pada hari raya Idul Adha sebagai bentuk penghambaan dan pengorbanan di hadapan Sang Khalik.

Kurban, Pendidikan, dan Misi Peradaban

Kurban, Pendidikan, dan Misi Peradaban

History Idul Adha

Kurban, Pendidikan, dan Misi Peradaban

Dalam Tafsir al-Misbah(2002), M Quraish Shihab menguraikan bahwa akar historis ibadah kurban dapat ditelusuri sejak masa dua putra Nabi Adam, yakni Habil dan Qabil. Ketika Allah memerintahkan keduanya untuk mempersembahkan kurban, Qabil—seorang petani—menyuguhkan hasil panennya, sedangkan Habil, yang berprofesi sebagai peternak, mempersembahkan kambing terbaik yang dimilikinya. Allah menerima kurban Habil, tetapi tidak demikian dengan Qabil. Peristiwa ini menjadi pelajaran awal tentang pentingnya ketulusan niat dan kualitas persembahan dalam setiap bentuk pengabdian kepada Tuhan. Peristiwa ini terekam dalam QS. Al-Ma’idah [5]: 27.

Kurban, Pendidikan, dan Misi Peradaban

Secara formal, perintah berkurban merujuk pada peristiwa monumental dalam kehidupan Nabi Ibrahim AS. Ketika Allah SWT memerintahkannya untuk menyembelih putra tercinta, Ismail AS, ketaatan keduanya diuji dalam momen yang amat menggugah. Dalam kepasrahan penuh, saat pisau nyaris menyentuh leher Ismail, datanglah pertolongan Ilahi: Allah mengganti sosok Ismail dengan seekor hewan sembelihan yang besar. Kisah penuh kepatuhan dan keajaiban ini terekam dalam QS. As-Saffat [37]: 102.

Sejarah ritual idul adha dalam pandangan Haedar Nashir (2024) telah menjadi simbol dekonstruksi ruhaniah, dimana manusia mencoba keluar dari belenggu hasrat primitif, beranjak menjadi manusia yang bermartabat. Maka dalam ibadah qurban itu, tercermin nilai-nilai pendidikan yang relevan untuk di satu sisi membangun kualitas pribadi, saat yang sama juga menata pranata sosial di masyarakat. Idul Adha dengan demikian diharapkan melahirkan keshalehan individual yang berjalan selaras dengan keshalehan sosial.

Makna Pedagogi Idul Adha

Idul Adha, beserta seluruh rangkaian ibadah yang menyertainya, merupakan sebuah madrasah peradaban—tempat umat belajar dan membentuk diri secara kolektif. Dalam spirit Idul Adha, terkandung nilai-nilai paedagogis yang mendalam: pertama, ia adalah pendidikan karakter yang menanamkan nilai integritas diri, tentang bagaimana sesunguhnya manusia mengukuhkan ketaatan bahkan ketika ketaatan tersebut kendati harus melawan kenyamanan. Dari figur Nabi Ibrahim, tercermin potret manusia yang menjunjung tinggi panggilan ilahi di atas keterikatan biologis.

Kedua,kurban memuat nilai-nilai empati dan kepekaan sosial. Kala sepotong daging disalurkan pada tangan manusia yang membutuhkan uluran tangan, ia sekaligus menjadi pesan luhur bahwa kesalehan sejati tak mungkin tumbuh dari egoisme diri. Ia membutuhkan tali kasih dan mekanisme distribusi ekonomi. Maka dalam persepktif sosial dan ekonomi, ritual kurban sejatinya ijtihad meranggas ketimpangan, penolakan terhadap penumpukan harta secara berlebihan. Maka pada hari itu, manusia dituntun untuk memastikan tak ada manusia yang diabaikan dari kegembiraan hari raya.

Ketiga, idul adha hakikatnya momentum tazkiyatun nafs, pemurnian jiwa dari segala syahwat materi. Dalam diri Idul Adha, manusia diundang untuk bersedia melakukan otokritik atas keterikatan pada dunia yang fana. Manusia diajak untuk menyelami ketenangan jiwa (nafs al-muthmainnah) yang tak tergoda oleh kenikmatan semu, namun tenteram dalam kepasrahan kehendak ilahi. Jiwa seperti ini niscaya dirindukan langit, jiwa yang berpulang pada pelukan ilahi dalam keadaan suci.

Misi Membangun Peradaban

Dari nilai-nilai dasar itulah, semangat kurban semestinya ditransformasikan menjadi energi kebudayaan. Lebih dari sekadar ibadah, ia adalah landasan pedagogis untuk membangun pranata sosial di masyarakat. Pendidikan sejati hakikatnya bukan sekadar mengisi otak dengan kumpulan data, namun juga membentuk manusia yang tangguh, empatik dan rela berbagi. Melalui madrasah seperti ini, maka lahirlah generasi yang sadar bahwa peradaban tumbuh dari kolektivitas, bukan dari egoisme.

Peradaban yang bermartabat tidak lahir dari tangan-tangan yang menggenggam erat dunia, melainkan tumbuh dari hati yang terbuka untuk memberi. Maka semangat Idul Adha hendaknya menjadi pijakan untuk mendidik manusia lewat pendidikan dalam keluarga, sekolah dan institusi sosial.

Dalam konteks kebangsaan, spirit idul kurban terefleksi dalam upaya menata ulang arah pembangunan nasional. Pembangunan dalam hal ini tak boleh sekadar memburu infrastruktur fisik belaka, melaikankan juga harus membangun ‘intrastruktur’ moral, spiritual dan intelektual.

Semoga gema takbir yang menggetarkan langit Idul Adha ini bukan hanya jadi nyanyian sesaat, tetapi menjadi gema kesadaran yang merasuk ke relung batin bangsa. Agar dari setiap tetes darah kurban, lahir semangat baru: membangun Indonesia bukan hanya sebagai negara, tetapi sebagai peradaban yang luhur—tempat tumbuhnya manusia-manusia yang siap memberi, bukan hanya meminta. Walahualam Bishowab.

Penulis: Arif Jamali Muis,

Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah DIY dan Staf Khusus Mendikdasmen

顶: 4踩: 539